Minggu, 20 November 2011

PENDEKATAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Sains merupakan ilmu yang membahas tentang gejala-gejala alam yang disusun secara sistematis yang didasari oleh fakta yang empiral pada hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia. Sains ini diperoleh dengan cara yang terkontrol dan berlaku umum yang berupa kumpulan eksperimen serta data yang lebih nyata. Oleh karena itu, mata pelajaran sains di sekolah dasar merupakan suatu bentuk ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala alam dan kebendaan yang diperoleh lewat hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia yang tersusun secara sistematis yang membutuhkan  kognitif, afektif  dan psikomotorik siswa.
Mata pelajaran sains di sekolah dasar merupakan salah satu program pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat serta dapat memecahkan masalah dan membuat keputusan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa tujuan pembelajaran sains di sekolah dasar dapat mengembangkan kognitif, afektif, psikomotorik, kreativitas serta melatih siswa dalam berpikir kritis dalam memahami fenomena-fenomena yang terjadi di alam atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar sehingga siswa dapat memecahkan masalah tentang isu-isu sosial dalam masyarakat yang menjadi tantangan hidup dan mampu mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Jadi penekanan dalam pembelajaran sains adalah bagaimana seorang guru dapat mengembangkan pemahaman siswa dalam mengelola pemikirannya untuk menghubungkan satu fenomena dengan fenomena yang lain di lingkungan sekitarnya sehingga memperoleh suatu ide atau gagasan yang baru tentang suatu objek yang diamati  dan memikirkan cara pemecahan masalahnya.
Sains merupakan pengetahuan manusia tentang alam  yang diperoleh dengan cara terkontrol  dan sistematik serta dapat diuji dan dibuktikan kebenarannya. Oleh karena itu, dalam pembelajaran sains seyogyanya diciptakan kondisi  agar siswa selalu aktif  untuk ingin tahu terhadap permasalahan alam sekitar. Sehingga siswa dapat menggali potensi-potensi yang ada dalam dirinya  untuk dikembangkan dan nantinya dengan potensi yang dimiliki siswa mampu mengatasi setiap tantangan  dan rintangan dalam kehidupan yang cepat berubah apalagi dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Bruner (Samatowa 2006: 23) bahwa ”perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif”. Hudoyo (Samatowa 2006: 25) mengatakan bahwa:
Untuk mempelajari suatu materi sains yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang itu akan mempengaruhi terjadinya proses belajar sains tersebut. Apalagi diajarkan menurut cara yang tepat lalu dari seseorang itu akan mempengaruhi terjadinya proses belajar misalnya diajarkan dengan menggunakan pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM).
Dimana dengan pendekatan ini siswa dihadapkan pada suatu masalah  yang terjadi di lingkungan sekitar kita sebagai akibat  dari pengembangan  atau penggunaan teknologi yang meresahkan kehidupan masyarakat. Dan dalam proses pembelajarannya siswa diajak untuk mencari solusi  untuk mengatasi masalah tersebut dengan menggunakan dasar atau menerapkan prinsip-prinsip sains.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sains sekolah dasar ada beberapa kajian materi yang harus dikuasai oleh siswa. Salah satu kajian materi tersebut adalah jenis bahan dan keguanaanya. Konsep tersebut harus dikuasai oleh siswa sekolah dasar, dimana konsep ini sangat berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari siswa  baik secara individu maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu guru sebagai pengajar perlu menanamkan konsep dengan baik agar dapat dipahaminya sehingga siswa mengerti dan paham tentang konsep tersebut.
Pendekatan sains teknologi masyarakat merupakan pendekatan pembelajaran  yang pada dasarnya membahas penerapan sains dan teknologi dalam konteks kehidupan manusia sehari-hari. Oleh karena itu pendekatan sains teknologi masyarakat disebut sebagai pendekatan terpadu antara sains dan isu-isu teknologi yang ada dalam masyarakat. Dengan pendekatan ini siswa dikondisikan diharapkan mampu menerapkan prinsip-prinsip sains  untuk menghasilkan karya teknologi sederhana atau solusi pemikiran untuk mengatur dampak negatif yang mungkin timbul akibat munculnya produk teknologi. Dengan demikian guru sains dapat menggunakan  pendekatan sains teknologi masyarakat  untuk menanamkan pemahaman konsep dan pengembangannya untuk kemaslahatan masyarakat.
Hal ini sejalan dengan pendapat Myers (Asyari 2006: 34) yang menyatakan bahwa ”pendekatan STM efektif untuk meningkatkan penguasaan konsep dalam diri siswa dan dalam penerapannya di lapangan diharapkan dapat menunjukan kemampuan menerapkan konsep  sains dalam kehidupan sehari-hari”.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM memungkinkan anak dapat menghubungkan hal-hal yang telah di pahami dengan fenomena-fenomena yang ada di lingkungannya sehingga dapat menguatkan pemahaman terhadap suatu permasalahan atau memperoleh pemahaman yang baru yang berkaitan dengan kehidupan keseharian siswa tersebut. Sehingga dapat meningkatkan pemahaman siswa  tentang fenomena  atau objek yang diamati.
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1.      Apa pengertian pendekatan Sain Teknologi Masyarakat (STM)?
2.      Bagaimana keunggulan pendekatan sains teknologi masyarakat (STM)?
3.      Bagaimana langkah-langkah penerapan pendekatan sains teknologi masyarakat (STM)?
3.      Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk:
1.      Untuk mengetahui pendekatan Sain Teknologi Masyarakat (STM)
2.      Untuk mengetahui keunggulan pendekatan sains teknologi masyarakat (STM)
3.      Untuk mengetahui keunggulan pendekatan sains teknologi masyarakat (STM)
BAB II
PEMBAHASAN
1.    Pengertian Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM)

Pendekatan (STM) Sains Teknologi Masyarakat merupakan terjemahan dari science technology and society approach (STS) yang merupakan pendekatan pembelajaran, dikembangkan berdasarkan pada filosofis kontruktivisme. Pendekatan pembelajaran tersebut telah berkembang pesat di Amerika dan Inggris sejak awal tahun 1970-an.
Pendekatan STM ( Sains Teknologi Masyarakat ) didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan Sains Teknologi Masyarakat (STM) ini baru diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun 1990-an yang telah diuji coba dan dilakukan di berbagai sekolah di Jawa Barat dan daerah lain di Indonesia.
Sedangkan menurut para tokoh lain bahwa pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran kontekstual yang dapat membantu siswa untuk membuat pelajaran menjadi lebih berarti. Karena di dalam Sains Teknologi Masyarakat (STM) ini berkatain dengan kehidupan yang nyata, dimana dalam pembelajaran yang bersumber dari pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) disini siswa memilik perasaan, perhatian, kemauan, ingatan dan pikiran yang mengalami perubahan berkat pengalaman hidup. Pengalaman dengan teman sebayanya berpengaruh kepada kemampuan menyerap dan perilaku belajar. Lingkungan siswa yang berupa lingkungan alam, lingkungan tempat tinggal, dan pergaulan juga mengalami perubahan lingkungan budaya siswa yang berupa surat kabar, majalah, radio, televisi dan film semakin menjangkau siswa ke semua lingkungan tersebut mendinamiskan
motivasi belajar.
Kegiatan pembelajaran dimaksudkan agar tercipta kondisi yang memungkinkan terjadinya belajar pada diri siswa. Dalam suatu kegiatan pembelajaran dapat dikatakan terjadi belaajr, apabila terjadi prsoes perubahan perilaku pada diri siswa sebagai hasil dari suatu pengalaman.
Dari penjelasan di atas dapat dijelaskan beberapa penerapan dalam kegiatan pembelajaran:
a.    Percepatan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi
Percepatan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi ini tidak memungkinkan bagi guru bertindak sebagai satu-satunya orang yang menyalurkan semua fakta dan teori. Untuk mengatasi hal-hal ini maka perlu pengembangan keterampilan memperoleh dan memproses semua fakta, konsep dan prinsip pada diri siswa.
b.    Pengalaman intelektual, emosional dan fisik
Pengalaman ini dibutuhkan agar didapatkan hasil belajar yang optimal. Ini berarti kegiatan pembelajaran yang mampu memberi kesempatan kepada siswa memperlihatkan unjuk kerja melalui sejumlah keterampilan memproses semua fakta, konsep dan prinsip sangat dibutuhkan.
c.    Penanaman sikap dan nilai sebagai pengabdi
Hal ini menuntut adanya pengenalan terhadap tata cara memproses dan memperoleh kebenaran ilmu yang bersifat kesementaraan. Hal ini akan mengarahkan siswa pada kesadaran keterbatasan manusiawi dan keunggulan manusiawi, apabila dibandingkan dengan keterbatasan dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi (Dimyati dan Mudjiono, 2006 : 135 – 138).
Menurut Anwariyah dalam Munawarah (2002 : 5) ada empat macam penerapan Sains Teknologi Masyarakat (STM) dalam pembelajaran yaitu:
  1. Menyadari hubungan yang kompleks antara ilmu, teknologi dan masyarakat
  2. Mengerti dan mampu mengadaptasikan diri dengan berbagai perubahan besar sebagai akibat perkembangan IPTEK serta dampak-dampak bagi individu dan masyarakat.  
  3. Mampu membuat keputusan yang tepat mengenai penggunaan teknologi dala masyarakat khususnya yang melibatkan unsur-unsur sosial, seperti lingkungan, energi, kependudukan, bio genetika, teknologi, maknan, transportasi dan lain-lain.
  4. Secara realistik dapat memproyeksikan alternatif masa depan beserta konsekwensi positif dan negatifnya.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu, di bidang ilmu pendidikan dikembangkan pula berbagai metode mengajar yang lebih sesuai, efektif dan efisien. Materi pelajaranpun dikembangkan karena telah banyak perubahan yang terjadi atau telah banyak ditemukan pengetahuan yang lebih mendalam sebagai akibat dari perkembangan teknologi.
  1. Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan harus dapat mempergunakan sumber-sumber pengetahuan yang ada di masyarakat karena:dengan melihat apa yang terjadi di masyarakat anak didik akan mendapatkan pengalaman langsung (first hand experience) dan oleh karenanya mereka dapat memiliki pengalaman yang konkret (jelas dan nyata) serta mudah diingat.
  2. Pendidikan membina anak-anak yang berasal dari masyarakat, dan akan kembali ke masyarakat. 
  3. Di masyarakat banyak sumber pengetahuan yang mungkin guru sendiri belum mengetahuinya. 
  4. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan orang-orang yang berdidik dan anak didikpun membutuhkan masyarakat (Munawarah, 2004 : 6-7).
2.    Keunggulan Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM)

Menurut Wahyudi, dkk dalam Munawarah (2004 : 7) ada beberapa keunggulan yang dapat diperoleh dari pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) yaitu:

a.    Keunggulan pendekatan STM jika ditinjau dari segi tujuan
  • Meningkatkan keterampilan inquiry dan pemecahan, di samping keterampilan proses.
  • Menekankan cara belajar yang baik yang mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
  • Menekankan sains dalam keterpaduan dan antara bidang studi.
b.    Keunggulan pendekatan STM jika ditinjau dari segi pembelajaran
  • Menekankan keberhasilan siswa
  • Menggunakan berbagai strategi
  • Menyadarkan guru bahwa kadang-kadang dirinya tidak selalu berfungsi sebagai sumber informasi.
c.    Keunggulan pendekatan STM ditinjau dari segi evaluasi
  • Ada hubungan antara tujuan, proses dan hasil belajar
  • Perbedaan antara kecakapan, kematangan serta latar belakang siswa juga diperhatikan. 
  • Kualitas efisiensi dan keefektifan serta fungsi program juga dievaluasi. 
  • Guru juga termasuk yang dievaluasi usahanya yang terus menerus dalam membantu siswa.
3.    Langkah-langkah Penerapan Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM)

Ada bebrapa tahapan yang dapat dilakukan oleh guru dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM), yaitu:
  • Tahap apersepsi (inisiasi, invitasi dan eksplorasi) yang mengemukakan isu atau masalah aktual yang ada di masyarakat dan dapat diamati oleh siswa.
  • Dalam pembentukan konsep yang siswa membangun atau mengkonstruksikan pengetahuan sendiri melalui observasi, eksperimen, dan diskusi.
  • Tahap aplikasi konsep atau menyelesaikan masalah yang menganalisis masalah atau isu yang telah dikemukakan di awal pembelajaran berdasarkan konsep yang telah dipahami sebelumnya.
  • Tahap pemantapan konsep, di mana guru memberi pemantapan konsep agar tidak terjadi kesalahan konsep pada siswa.
Tahap evaluasi penggunaan tes untuk mengetahui penguasaan konsep siswa terhadap materi yang dikaji (www.dunia guru com.)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) dikembangkan sebagai metode mengajar yang lebih sesuai, efektif dan efisien. Materi pelajaranpun dikembangkan karena telah banyak perubahan yang terjadi atau telah banyak ditemukan pengetahuan yang lebih mendalam sebagai akibat dari perkembangan teknologi.
Pendidikan harus dapat mempergunakan sumber-sumber pengetahuan yang ada di masyarakat karena:dengan melihat apa yang terjadi di masyarakat anak didik akan mendapatkan pengalaman langsung (first hand experience) dan oleh karenanya mereka dapat memiliki pengalaman yang konkret (jelas dan nyata) serta mudah diingat. Pendidikan membina anak-anak yang berasal dari masyarakat, dan akan kembali ke masyarakat. Di masyarakat banyak sumber pengetahuan yang mungkin guru sendiri belum mengetahuinya. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan orang-orang yang berdidik dan anak didikpun membutuhkan masyarakat (Munawarah, 2004 : 6-7).

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah termasuk hal yang baru di Indonesia umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan anak berkebutuhan khusus, diantaranya adalah pendidikan anak berkebutuhan khusus merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok yang homogen. Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi keberagaman kebutuhan siswa. Mereka juga diharapkan dapat mencari anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan.
A.    Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya, sesuai dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan adalah sebagai berikut :
1.      Tuna Netra
2.      Tuna Rungu
3.      Tuna Grahita: (a.l. Down Syndrome)
4.      Tuna Grahita Ringan (IQ = 50-70)
5.      Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50)
6.      Tuna Grahita Berat (IQ 125 ) J. Talented : Potensi bakat istimewa (Multiple Intelligences : Language, Logico mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual).
7.      Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/ Motorik)
8.      Lambat Belajar ( IQ = 70 –90 )
9.      Autis
10.  Korban Penyalahgunaan Narkoba
11.  Indigo

2. Tujuan
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.
Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak – anak difabel dengan anak – anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan anak berkebutuhan khusus. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan anak berkebutuhan khusus di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan anak berkebutuhan khusus di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal ini para guru.


3. Manfaat Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus
Meski sampai saat ini sekolah inklusi masih terus melakukan perbaikan dalam berbagai aspek, namun dilihat dari sisi idealnya sekolah anak berkebutuhan khusus merupakan sekolah yang ideal baik bagi anak dengan dan tanpa berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat mendukung terhadap anak dengan berkebutuhan khusus, mereka dapat belajar dari interaksi spontan teman-teman sebayanya terutama dari aspek social dan emosional. Sedangkan bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus memberi peluang kepada mereka untuk belajar berempati, bersikap membantu dan memiliki kepedulian. Disamping itu bukti lain yang ada mereka yang tanpa berkebutuhan khusus memiliki prestasi yag baik tanpa merasa terganggu sedikitpun
4. Rumusan Masalah.
Penyelengaraan sistem pendidikan inklusi merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusi (inclusive society). Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas kehidupan. Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan anak berkebutuhan khusus dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan anak berkebutuhan khusus harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Undang – undang tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus dan bahkan uji coba pelaksanaan pendidikan anak berkebutuhan khusus pun konon telah dilakukan.
Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah :
1.      Sejauh mana keseriusan pemerintah untuk mendorong terlaksananya sistem pendidikan anak berkebutuhan khusus bagi kelompok difabel?
2.      Bagaimanakah kurikulum yang dipakai dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus?

BAB II
I. PEMBAHASAN
2.1. Gagagasan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Sekolah anak berkebutuhan khusus adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan anak berkebutuhan khusus, tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan inklusi mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab.
Anak berkebutuhan khusus terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan anak berkebutuhan khusus berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup (way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak. Pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap anak penuh berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan kecacatan atau karakteristik lainnya. Disamping itu pendidikan anak berkebutuhan khusus juga melibatkan orang tua dalam cara yang berarti dalam berbagi kegiatan pendidikan, terutama dalam proses perencanaaan, sedang dalam belajar mengajar, pendekatan guru berpusat pada anak.
2.2.  Landasan Hukum
2.2.1.      Landasan Spiritual
a.       Surat An Nisa ayat 9
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
b.      Surat Az Zuhruf ayat 32
“Allah telah menentukan diantara manusia penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Allah telah meninggikan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat saling mengambil manfaat(membutuhkan)”.
2.2.2. Landasan Yuridis
a.       Konvensi PBB tentang Hak anak tahun 1989.
b.      Deklarasi Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun 1990.
c.       Kesepakatan Salamanka tentang Pendidikan inklusi tahun 1994.
d.      UU No. 4 tentang Penyandang Cacat tahun 1997.
e.       UU No. 23 tentang Perlindungan Hak Anak tahun 2003.
f.       PP No. 19 tentang Standar Pendidikan Nasional tahun 2004.
g.      Deklarasi Bandung tentang Menuju Pendidikan Inklusi tahun 2004.
Kalau kita cermati lebih teliti, landasa spiritual maupun landasan yuridis tersebut telah memberikan dasar hukum yang jelas tentang bagaiman penyelenggaraan pendidikan inklusi yang memang merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.
2.3. Implementasi Di Lapangan
Indonesia Menuju Pendidikan anak berkebutuhan khusus Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah anak berkebutuhan khusus seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang belum ada informasi yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut.
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan sekolah anak berkebutuhan khusus (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD. Muhamadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini yang berkaitan dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun 2001, secara formal pendidikan anak berkebutuhan khusus dideklarasikan di Bandung tahun 2004 dengan beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk implementasi pendidikan anak berkebutuhan khusus. Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda untuk itu, informasi tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus tidak muncul kepada publik, isu ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan lain-lain.



II. PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Lingkup Pengembangan Kurikulum
Kurikulum pendidikan anak berkebutuhan khusus menggunakan kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.
Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap:
1.      alokasi waktu
2.      isi/materi kurikulum
3.      proses belajar-mengajar
4.      sarana prasarana
5.      lingkungan belajar
6.      pengelolaan kelas.
B. Pengembang Kurikulum
Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan anak berkebutuhan khusus dapat dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang mengajar di kelas anak berkebutuhan khusus bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan.
C. Pelaksanaan Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1. Modifikasi alokasi waktu
Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa. Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.
2. Modifikasi isi/materi
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.
3. Modifikasi proses belajar-mengajar
* Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal;
* Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan individual setiap anak;
* Lebih terbuka (divergent);
* Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain.
* Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik, “aku-lah sang juara”! Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois. Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif.
Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik. Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang harmonis.
* Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis). Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera penglihatan.Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja.

BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kendala / Kelemahan
Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan anak berkebutuhan khusus, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah anak berkebutuhan khusus menunjukkan betapa sistem pendidikan anak berkebutuhan khusus belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan anak berkebutuhan khusus hanya terkesan program eksperimental.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.
3.2. Solusi
Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program pendidikan anak berkebutuhan khusus, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan – tahapan pelaksanaan pendidikan anak berkebutuhan khusus secara konsisten mulai dari sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan secara langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan (cooperative learning). Cooperative Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual understanding) kekurangan masing – masing temannya dan peduli (care) terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa.
DAFTAR PUSTAKA